Adat Indonesia

Blog tentang adat istiadat di Indonesia

Senin, 02 Maret 2015

Kisah Kampung Kain Cirebon yang Memproduksi Tenun Palembang

Sutoyo (55), perajin kain tenun Palembang yang diproduksi di Desa Karang Sari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon

Bagi anda yang tinggal, atau sering bertamasya ke Palembang, tentu tahu dengan kain seperti tajung, blongket, ataupun blongsong. Namun siapa sangka, tiga jenis kain songket khas Palembang itu, juga diproduksi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Bagaimana cerita sebuah desa di Cirebon, justru memproduksi kain tenun khas daerah yang jaraknya ribuan kilometer?

Kurun waktu 1950 hingga 1980-an, terdapat sebuah desa yang terkenal, sebagai sentra pembuat sarung khas Cirebon. Kala itu kerap terdengar bunyi Kotrek – kotrek – kotrek, suara yang keluar dari alat tenun itu di rumah-rumah Desa Karang Sari, dan beberapa desa sekitarnya.

Karena bunyi itulah, lambat laun alat untuk membuat kain tenun itu disebut kotrekan. Dalam bahasa Cirebon alat itu disebut gedogan, atau di Palembang disebut dayan.

Tahun 1980-an, perusahaan rotan menjamur, suara kotrekan perlahan digantikan “cetokan” yang dihasilkan dari mesin alat pemaku rotan karena banyak perajin kain yang berpindah menjadi perajin rotan.

Namun, tidak semua perajin kain tergiur untuk terjun jadi perajin rotan. Mereka tetap melestarikan peninggalan pembuatan kain sarung, meski harus merantau ke Palembang, untuk mempelajari kain tenun. Salah satunya adalah H. Madinah.

Ia bersama istri, dan beberapa anaknya pergi, dan lambat laun membuka usaha kain tenun di Palembang. Ternyata, usaha yang dijalani semakin besar, dan memerlukan pekerja yang cukup banyak. Madinah ingat kampung halaman, dan mencoba memodifikasi yang semula perajin kain sarung, diubah memproduksi kain tenun.

“Jadi, karena permintaan semakin tinggi, ke dua orang tua kami, mengajarkan produksi kain tenun di sini (di Cirebon). Alatnya dibuat di sini, dan seluruh bahan bakunya pun dikirim dari sana. Sejak saat itu, kami produksi kain tenun di sini,” kata Suci anak keempat Madinah.

Suci menerangkan, proses peralihan tersebut berlangsung sekitar tahun 2000-an. Meski di rumah produksi miliknya itu hanya terlihat sekitar sembilan orang, enam hingga tujuh pekerja lagi, mengerjakan produksi tenun di rumah masing-masing.

Dari hasil karya pekerjanya, Suci dapat menyuplai kain tenun yang dibuat di Cirebon untuk Palembang sebanyak sekitar dua puluh kodi per bulan. Dari Palembang, kain tenun itu, baru disebar ke beberapa daerah langganan, seperti Sumatera, Jambi, Riau, dan Cianjur-Jawa Barat.

Suci menjual membanderol harga kain per potong sekitar Rp 100.000 untuk bahan katun, dan Rp 450.000 untuk bahan sutra. Dari perhitungan, dengan komposisi 50 persen katun dan 50 persen sutra, total omzet Suci bisa menembus Rp 100 juta-an per bulan.

“Alhamdulilah, hasil penjualannya cukup membayar belasan karyawan, modal produksi berikutnya, dan dapat menabung untuk masa depan,” kata Suci yang enggan menyebutkan pendapatannya.

Kini dengan kembali menggeliatnya bisnis kain di wilayah tersebut, suara khas dari alat tenun kotrekan pun kembali akrab di desa tersebut. Kotrek-kotrek-kotrek...

Sumber:  Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar