Kompor minyak tanah termasuk peralatan dapur tradisional masyarakat Jawa yang juga pernah dipakai pada beberapa dekade lalu setidaknya sebelum tahun 2000. Biarpun keberadaannya sekarang telah jauh berkurang jika dibandingkan 10-an tahun lalu, namun pada masanya, kompor minyak menduduki posisi penting sebagai alat dapur, terutama di perkotaan dan sebagian masyarakat pedesaan di Jawa.
Sebelum muncul booming kompor gas, hampir semua penduduk kota menggunakan kompor minyak dengan berbagai tipe. Begitu pula bagi masyarakat pedesaan, terutama dari kalangan mampu, seperti perangkat desa, pedagang, juga banyak menggunakan kompor minyak. Kompor minyak sangat banyak digunakan kala itu, karena harga minyak tanah masih terjangkau, terutama bagi kalangan menengah ke bawah di perkotaan atau kalangan menengah ke atas di pedesaan. Harga minyak tanah kala itu masih mendapat subsidi dari pemerintah.
Namun setelah ada kebijakan konversi minyak tanah ke gas, kompor minyak tanah ditinggalkan. Karena kebijakan itu dibarengi dengan pencabutan subsidi minyak tanah yang otomatis membuat harganya naik bisa 3 kali lipat atau lebih. Apalagi, pada awal penerapan kebijakan konversi, pemerintah menggratiskan kompor, selang, dan tabung gas. Selain itu, harga gas ditetapkan lebih murah daripada harga minyak tanah.
Boleh dikata, nasib kompor minyak lebih tragis dibandingkan tungku tradisional yang lebih kuno lagi, seperti keren, luweng, anglo, dan dhingkel. Kompor itu hampir punah dalam hitungan tahun saja. Namun begitu, tetap masih ada yang menggunakan kompor minyak saat ini, walaupun jumlah penggunanya sudah sangat jarang, salah satunya adalah perajin batik.
Kompor minyak masih digunakan jasanya oleh para perajin batik untuk memasak “malam”
Mereka masih mempertahankan kompor minyak dengan alasan mereka bisa mengatur besaran nyala api yang dipakai untuk memasak “malam”, bahan untuk membatik. Namun begitu kompor minyak yang digunakan adalah kompor minyak berukuran kecil. Walaupun sebenarnya penggunaan kompor minyak tanah menambah pengeluaran mereka - karena harga minyak tanah jauh sudah lebih mahal jika dibandingkan dengan dahulu - tetapi apa boleh pilihan itu harus diambil supaya proses pembuatan kerajinan batik, terutama batik tulis tetap bertahan.
Potensi punah kompor minyak tanah di kalangan perajin batik pun kian terang sekarang ini terutama oleh kehadiran kompor listrik untuk memasak “malam” (semacam lilin) sebagai pengganti kompor minyak. Memang baru sedikit perajin batik yang menggunakan kompor modern ini, tapi bisa jadi akan makin banyak penggunanya jika hitungan ekonominya lebih murah ketimbang kompor minyak.
Kompor minyak digunakan untuk memasak nasi. Kini tinggal kenangan
Kompor minyak sebagai alat dapur yang sudah termasuk tradisional (untuk saat ini) hampir dapat dipastikan sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat Jawa, kecuali untuk kepentingan tertentu saja, seperti untuk keperluan membatik dan menjadi koleksi museum. Walaupun sudah tidak digunakan lagi, namun setidaknya masyarakat perlu tahu bahwa kompor minyak pernah berjaya.
Ketika kompor minyak masih berjaya, hampir di setiap warung kelontong atau pasar-pasar tradisional mudah dijumpai kompor minyak. Bahkan mal-mal dan swalayan juga menjual berbagai jenis kompor minyak mulai berharga puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Bahan kompor ada yang terbuat dari “blek” atau sejenis aluminium tipis hingga lempengan besi yang menggunakan tabung kaca.
Kompor-kompor itu didatangkan dari perusahaan kompor berskala rumah tangga hingga keluaran pabrikan. Salah satu merk kompor minyak yang terkenal saat itu adalah “Butterfly”. Entahlah, setelah ada kebijakan konversi minyak ke gas, ke mana keberadaan perajin-perajin kompor tersebut. Mungkin mereka beralih profesi.
Pada umumnya, kompor minyak buatan rumah tangga (buatan sederhana) terdiri beberapa bagian yaitu tabung, sumbu, tempat sumbu, sarangan, tarikan, dan badan kompor. Tabung minyak berada di bagian bawah, tempat menyimpan minyak tanah sebagai sumber energi.
Tabung minyak disambungkan dengan tempat sumbu di bagian atasnya, yang bisa dibuka dan ditutup. Di bagian ini ada lubang kecil tempat menuangkan minyak tanah ke dalam tabung. Tempat sumbu terdiri dari belasan lubang kecil melingkar dan menjulang ke atas setinggi sekitar 10 cm. Tempat sumbu inilah sebagai tempat untuk menempatkan sumbu-sumbu hingga menyentuh minyak tanah yang berada di tabung minyak. Sementara sumbu bagian atas disembulkan sedikit sebagai tempat nyala api. Sumbu-sumbu di bagian atas dikelilingi oleh sarangan, agar nyala api stabil dan tidak kena angin.
Lalu, sarangan terdiri dari 3 buah, di bagian dalam dan tengah, keduanya mengapit sumbu api. Kedua sarangan ini dibuat berlubang-lubang kecil memenuhi semua bidang yang melingkar. Tujuannya untuk sirkulasi api dan agar warna api bisa biru sehingga tidak menimbulkan jelaga pada panci dan sejenisnya. Sarangan bagian luar dibuat tertutup rapat, tidak berlubang dan biasanya lapisan aluminium lebih tebal daripada kedua sarangan yang berlubang. Tarikan berfungsi untuk membesarkan atau mengecilkan api. Jika ditarik ke atas, api akan membesar, jika ditarik ke bawah, api akan mengecil. Tarikan ini dihubungkan dengan lempengan tempat sumbu yang berada di tabung minyak. Badan kompor, biasanya menghubungkan semua bagian itu mulai dari kaki hingga atas tempat menaruh barang untuk memasak (panci, ceret, wajan, atau sejenisnya).
Itulah sekelumit alat dapur tradisional berupa kompor minyak yang pernah menghiasi dapur-dapur warga masyarakat Jawa. Sayangnnya sekarang sudah sangat jarang ditemui di berbagai tempat. Museum, bisa jadi menjadi salah satu tempat untuk mengoleksi alat dapur tradisional ini.
Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar