Karya seni selalu berkembang jika pelaku seninya kreatif. Moto inilah yang menjadi dasar bagi Suharno Manaf (67) mengembangkan kain jumputan, tak hanya sekadar kain biasa, tetapi dikreasikan menjadi lukisan yang bernilai seni tinggi. Dengan cara ini, ia memperkenalkan kain jumputan kepada masyarakat hingga ke dunia internasional yang jadi impiannya.
Teknik jumputan adalah cara pemberian motif di atas kain yang dilakukan dengan mengisi dan melipat kain dengan cara tertentu, kemudian mencelupkannya pada larutan pewarna. Bagi Suharno, membuat kain dengan teknik jumputan tidaklah sulit, terbukti untuk membuat pola dasar jumputan, ia hanya membutuhkan waktu 10 menit.
Beberapa langkah sederhana ditunjukkan Suharno, Jumat (27/11). Dimulai dengan menyiapkan kain putih, menentukan pola, dan mengikat kain menggunakan tali rafia untuk menutupi bagian tertentu agar tidak terkena pewarna saat dicelupkan. Langkah selanjutnya adalah mencelupkan kain pada air detergen, tujuannya agar pori-pori kain terbuka. Kemudian ditiriskan sampai kadar air berkurang.
Selanjutnya, kain dicelupkan ke larutan naftol netral, yakni larutan campuran bubuk naftol, turkish red oil (pelarut cat batik), dan soda api. Beberapa menit kemudian, kain tersebut dicelupkan ke pewarna sesuai keinginan pembuatnya. Saat pewarnaan selesai, tali rafiayang menjadi penutup kain dibuka, maka akan terdapat bercak putih yang akan menjadi perpaduan motif yang serasi.
Prosesnya memang agak njelimet, jelas Suharno, tetapi jauh lebih mudah dibanding proses membatik biasa.
Lukisan
Kreativitas Suharno tidak berhenti sampai di sana. Dengan proses yang mudah ini, perajin kain jumputan di Sumatera Selatan selama ini hanya menjadikan kain jumputan sebagai pakaian. Padahal, teknik jumputan ini bisa dimanfaatkan untuk membuat lukisan.
Bagi Suharno, garis, warna, dan tekstur merupakan media yang efektif untuk menyampaikan ekspresi pribadi dan menanggapi apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Serta untuk mewujudkan refleksi lingkungan yang ada, apakah itu figuratif, nonfiguratif, ataupun keduanya.
Dari filosofi inilah, Suharno menganggap lukisan dapat dituangkan pada media apa saja, termasuk dari kain jumputan. Ide membuat lukisan jumputan dihasilkannya dari peristiwa yang tak terduga. Terbiasa membuat kain dengan teknik jumputan membuatnya jenuh. Pada awal tahun ini, ia menjadikan kain jumputan sebagai media lukis baru.
"Ada keunikan yang tidak terduga dan artistik yang kadang-kadang terjadi di luar pemikiran," ucapnya.
Jika dibandingkan dengan lukisan cat air atau cat minyak, lukisan dengan teknik jumputan jauh lebih sulit. Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi, seperti memikirkan gradasi warna yang tepat dan menentukan pola serta motif yang sesuai agar dapat dipadupadankan dengan gambar yang diinginkan. Tak heran, untuk membuat satu lukisan jumputan, Suharno membutuhkan waktu sekitar empat sampai lima hari, tergantung dari kerumitan pola dan ukuran kain.
Selain itu, untuk membuat kesenian dengan teknik jumputan, dibutuhkan banyak air karena pada setiap warna harus dilakukan dengan air yang tak terkontaminasi warna lain. "Satu titik warna saja bisa sangat berpengaruh pada kain yang dihasilkan," ucapnya.
Untuk membuat lukisan, ia memilih menggunakan kain berbahan katun 100 persen. Kain jenis ini lebih mudah menyerap sehingga perpaduan warna akan lebih optimal.
Tahun ini, Suharno menciptakan 20 lukisan jumputan. Semua lukisan berjenis nonfigur beraliran abstrak. Di antara lukisan itu, ada yang diberi judul "Mentari Berduka", "Celah Hijau", "Fatamorgana", dan "Turso".
Setiap lukisan memiliki cerita tersendiri. Ambil contoh, lukisan bernama "Mentari Berduka", menceritakan musibah kabut asap yang menimpa Sumsel beberapa waktu lalu. Saking pekatnya asap, mentari pun seakan meredup layaknya orang berduka.
"Lukisan dengan cat air, cat minyak, sudah biasa, menggunakan media jumputan mungkin yang pertama kalinya di Indonesia," kata pria yang sudah 10 kali menggelar pameran tunggal ini.
Beragam kreasi jumputan pun dilakukan, misalnya dengan melumuri zat lilin pada lukisannya untuk memberikan kesan timbul. Atau mencoba membuat kaligrafi dengan teknik jumputan. Suharno memang seorang pelukis, yang sudah menghasilkan sejumlah lukisan cat minyak, cat air, lukisan digital, dan lukisan kolase (media tempelan kertas).
Maklum, darah seni dari sang ayah, Abdul Manaf, mengalir di tubuhnya. "Dulu, saya sering diajak ke pameran lukisan oleh bapak. Dari sana saya sudah tertarik melukis," ucapnya.
Kini, melalui lukisan di atas media jumputan, ia ingin memperkenalkan kain jumputan menjadi karya seni ternama layaknya batik.
"Dulu, ada nama Amri Yahya yang melukis di atas media batik. Hasil karyanya mampu memberikan sumbangsih besar bagi ketenaran batik sampai ke kancah internasional. Siapa tahu, jumputan juga bernasib sama," kata pria yang pernah mengecap pendidikan kedokteran di Universitas Sriwijaya ini.
Langkah Suharno memperkenalkan jumputan di antaranya dilakukan dengan memberi pembelajaran pada komunitas, anak sekolah, dan mahasiswa. Sewaktu menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Palembang pun, Suharno juga menyematkan materi jumputan.
Seperti saat Kompas bertemu dengannya. Suharno sedang memberikan materi kepada 21 peserta yang tinggal di kawasan seberang ulu dua, Palembang. Dua jam kemudian, peserta dapat menghasilkan kain jumputan.
"Jika ada yang berminat belajar, saya siap datang," katanya. Dengan cara ini, Suharno berharap dapat meneruskan teknik jumputan kepada generasi selanjutnya dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian anak didiknya.
Direncanakan sebuah pameran tunggal dengan metode jumputan akan dilakukannya pada April tahun depan di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan. Dalam pameran itu, akan ada 60 karya lukisan yang dipamerkan.
Sumber: Print Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar