Seorang mahasiswa Jurusan Teknik Batik Politeknik Pusmanu, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, memperlihatkan cara membatik pada selembar kain, di pameran batik, Rabu (1/4). Selama ini, batik terus berkembang di Kota Pekalongan, hingga menjadi bagian dari pendidikan formal di wilayah tersebut. Dari kreativitas batik yang tumbuh dan berkembang di Kota Pekalongan. UNESCO menobatkan Kota Pekalongan sebagai Kota Kreatif Dunia, pada 1 Desember 2014.
Batik dan Kota Pekalongan ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Batik menjadi napas bagi warga kota yang tinggal di pesisir pantai utara Jawa Tengah itu. Di setiap sudut kota hampir bisa ditemui penjual kain atau pakaian batik dengan aneka model.
Sentra penjualan batik tumbuh di wilayah itu, seperti Pasar Grosir Batik Setono, Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Pesindon, dan sentra kain tenun dari olahan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Kelurahan Medono.
Di sudut perkampungan Kota Pekalongan, bahkan di gang sempit sekalipun, bisa ditemui pekerja batik. Bukan hanya orang tua, anak-anak pun larut dalam aktivitas terkait batik.
Anak kecil ikut belajar membatik, seperti pada pameran batik dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-109 Kota Pekalongan, Rabu (1/4) lalu. Mereka tampak asyik menggoreskan canting pada selembar kain putih, berukuran sekitar 20 sentimeter x 20 sentimeter. Mereka juga tak canggung berhadapan dengan asap dari lilin batik atau malam yang dimasak dalam wajan kecil.
"Kami biasa menggunakan canting," kata Eka Salma Aulia (9), siswa kelas IV. Padahal, warga Jalan Indragiri, Kota Pekalongan, itu tidak lahir dari keluarga pembatik. Orangtuanya adalah pedagang makanan. Eka bisa menggunakan canting untuk membatik motif sederhana karena mendapatkan pelajaran membatik di sekolah. Pelajaran membatik menjadi bagian muatan lokal pada kurikulum sekolah di Pekalongan.
Ratusan tahun
Batik berkembang di Kota Pekalongan sejak ratusan tahun silam. Ribuan motif batik tercipta dari tangan pembatik yang setiap saat mengasah kreativitasnya. Motif itu antara lain buketan yang berasal dari pengaruh Belanda dan Eropa, yang menampilkan paduan aneka bunga, pohon, burung, angsa, dan kupu-kupu, serta motif hokokai yang berasal dari pengaruh Jepang dan motif kontemporer yang saat ini terus berkembang.
Sebuah motif yang kini menjadi ikon Kota Pekalongan ialah jlamprang, yang sebenarnya merupakan motif kuno. Motif itu berbentuk diagonal, menyerupai mata angin dan simetris satu sama lain. Jlamprang bisa berbentuk bulat atau kotak. Bentuk itu simbol hubungan yang selaras antara manusia dan alam serta manusia dengan Tuhan.
Selain untuk pakaian, warga Kota Pekalongan juga menghasilkan aneka suvenir dan hiasan berbalut motif batik. Lampu, sepeda, helm, pigura foto, piring, tempat tisu, hingga botol pun dihiasi motif batik. Semua barang bisa dihias dengan batik sehingga memiliki nilai yang lebih tinggi.
Begitu hidupnya kreativitas warga Kota Pekalongan untuk mencipta aneka kreasi batik membawa kota ini meraih penghargaan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Pada 1 Desember 2014, Kota Pekalongan ditetapkan sebagai Kota Kreatif Dunia, yang merupakan bagian dari jejaring UNESCO World Creative Cities untuk kategori kerajinan dan kesenian rakyat. Dengan demikian, Kota Pekalongan menjadi satu dari 28 kota kreatif dunia dan menjadi kota pertama di Asia Tenggara yang mendapat gelar itu.
Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad menyatakan, penghargaan itu diperoleh dari sebuah proses panjang. Batik memenuhi kriteria untuk menjadikan Pekalongan sebagai kota kreatif karena memiliki sejarah masa lalu. Batik juga masih hidup pada masa sekarang dan menjadi penghidupan masyarakat. Ke depan, batik juga memiliki masa depan, seiring dengan kreativitas yang terus ditumbuhkan dalam masyarakat.
Lokomotif kota
Menurut Basyir, sejak tahun 2005, Pemerintah Kota Pekalongan berusaha menemukan lokomotif bagi perekonomian di wilayah itu. "Saya melihat ada dua, yaitu batik dan tekstil serta ikan," ujarnya. Pemerintah pun melengkapi batik dengan ekosistem batik, yaitu melalui pendidikan dan sentra batik. Beberapa tahun terakhir, batik dijadikan sebagai bagian dari kurikulum sekolah, mulai SD hingga SMA. Pelajaran membatik adalah muatan lokal yang wajib diajarkan semua sekolah.
Kota Pekalongan memiliki SMK batik dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan batik, yaitu Politeknik Pusmanu dan Universitas Pekalongan, yang memiliki Program Studi D-3 Teknologi Batik pada Fakultas Batik.
Kepala Program Studi D-3 Teknologi Batik Fakultas Batik Universitas Pekalongan Mutadin menjelaskan, sejak dibuka tahun 2011 hingga saat ini, jumlah mahasiswa pada program studi itu 52 orang. Saat ini dua mahasiswa asing, dari Jepang dan Korea Selatan, belajar batik di Universitas Pekalongan.
Pada jenjang pendidikan tinggi itu, mahasiswa belajar tentang filsafat batik, desain batik dengan cara manual atau komputer, batik dan malam (lilin batik), kewirausahaan, serta kimia bahan. Pemerintah Kota Pekalongan memberikan dukungan pada perkembangan program studi teknologi batik antara lain melalui beasiswa bagi siswa yang menempuh program studi tersebut. Mereka dibebaskan dari biaya masuk Rp 1,5 juta per orang.
Basyir menambahkan, batik masuk ke sekolah agar masa depan warisan budaya tak benda itu tetap ada. Pendidikan batik juga sebagai upaya mengilmiahkan batik sehingga tidak hanya menjadi warisan turun-temurun yang dikuasai sebagian masyarakat. "Kalau kita mengilmiahkan batik, kita bisa bersaing secara profesional," katanya. Pemkot Pekalongan membuat museum batik sebagai jendela batik masa lalu, masa sekarang, dan masa depan pula. Pada museum itu juga terdapat bengkel batik, yang menjadi pusat pelatihan bagi masyarakat yang menginginkan. Ekosistem batik juga ditumbuhkan melalui kampung batik. Batik pekalongan diperkirakan menguasai 70 persen pasar batik nasional.
Sumber: Print.kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar