Pentingnya daerah Karawang tidak hanya pada masa Kerajaan Tarumanegara dan masa berkembangnya Islam. Sebagai daerah yang subur sangat wajar bila menarik minat asing untuk datang dan bermukim seperti misalnya pendatang dari Cina dan Eropa.
Pada masa kolonial Belanda, Karawang sangat berperan bagi pemerintah kolonial khususnya sebagai lumbung padi.
Stasiun Kerawang
Stasiun Kereta api Kerawang (https://heritage.kereta-api.co.id)
Stasiun Karawang (KW) adalah stasiun kereta api yang terletak di Jl. Arif Rahman Hakim, Nagasari, Karawang Barat, Karawang, Propinsi Jawa Barat. Stasiun yang terletak pada ketinggian +16 m ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta. Saat ini Stasiun Karawang hanya melayani naik turun penumpang kereta api lokal Jakarta – Purwakarta pp. Ke arah barat KA menuju Tanjung Priok berangkat dari stasiun ini jam 05.33 dan 12.57, menuju Jakarta Kota jam 06.21 dan 06.25, sedangkan menuju Pasar Senen jam 18.01. Ke arah timur menuju Purwakarta jam 10.44, 15.37, dan 19.21; sedangkan jam 18.13 hanya sampai Cikampek.
Perusahaan kereta api swasta Bataviasche Ooster-Spoorweg Maatschappij (BOS) yang kemudian tertarik menanamkan modal pada bisnis pengembangan jalur kereta api di Jakarta (Batavia), khususnya bagian timur Jakarta (Batavia) yaitu rute Jakarta-Karawang.
Pada tahun 1887, jalur Jakarta (Batavia) – Bekasi sepanjang 27 km selesai dibangun kemudian dilanjutkan Jalur Bekasi – Kedungede selesai dibangun pada 1891. Seperti kisah NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij), BOS pun mengalami kesulitan keuangan. Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda memberi bantuan dana pada BOS untuk menyelesaikan jalur hingga Karawang dan selesai dibangun pada 1898.
Bendungan Walahar
Bendungan Walahar atau Parisdo
Bendungan Walahar, dahulu bernama Parisdo, yang terletak di Desa Walahar, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat ini digunakan sejak tanggal 30 November 1925. Dibangun pada masa penjajahan Belanda, dimana dalam pembangunannya mengandalkan tenaga pribumi. Maka tidak heran jika arsitekturnya mengingatkan kita pada bentuk bangunan sisa penjajahan Belanda lainnya yang masih bisa kita temui di berbagai pelosok tanah air.
Bendungan yang membagi air Sungai Citarum ini difungsikan untuk mengatur debit dan sirkulasi air dalam mengairi areal pesawahan di Karawang seluas ±87.507 ha.
Selain untuk mengairi sawah, bendungan ini juga berfungsi sebagai penahan air ketika daerah Karawang bagian utara dilanda banjir di musim penghujan, seiring meluapnya air laut di pantai utara.
Rumah Penculikan Proklamator di Rengasdengklok
Rumah Penculikan Proklamator di Rengasdengklok (https://www.telegramjakarta.com)
Pada 16 Agustus 1945, Sukarno dan Mohamad Hatta "diculik" oleh sejumlah pemuda Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Propinsi Jawa Barat.
Di sana Sukarno-Hatta yang kemudian menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia, singgah di sebuah rumah milik Djiauw Kie Siong, salah seorang dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta) terletak di Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat.
Peristiwa Rengasdengklok (https://id.wikipedia.org)
Kemudian di rumah Djiaw Kie Siong inilah Bapak Bangsa Soekarno – Hatta serta para tokoh Pemuda dan Pejuang merumuskan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tugu Kebulatan Tekad
Tugu Kebulatan Tekad (https://www.ekaikhsanudin.net)
Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok terletak di Kampung Bojong Tugu, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat atau 100 m dari Rumah Penculikan Proklamator, dibangun di atas tanah seluas 1.500 m2, yang merupakan bekas lokasi markas PETA (Pembela Tanah Air), dengan koordinat GPS: 06° 09' 430" LS dan 107° 17' 340" BT.
Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok dibangun pada tahun 1950, untuk mengenang Kebulatan Tekad Pemuda, Pejuang serta Tokoh-tokoh Bangsa untuk merebut dan melepaskan Tanah Air dari kungkungan penjajah guna menuju Negara yang merdeka. Tugu ini dibentuk dengan motif tangan kiri yang mengepal tinju diartikan untuk melawan, sedangkan tangan kanan tidak dilukiskan karena memegang senjata atau bambu runcing.
Monumen Rawa Gede
Monumen Rawa Gede (https://k-globals.com)
Lokasi Monumen Rawa Gede terletak di Kecamatan Rawamerta 10 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang. Monumen Rawagede yang mulai dibangun pada November 1995 dan diresmikan pada 12 Juli 1996 ini berada dekat dengan persawahan penduduk di pinggaran Timur perkampungan, dibatasi dengan pagar.
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini, hanya 181 korban yang jenazahnya ditemukan dan dimakamkan secara baik.
Makam korban Pembantaian Rawa Gede (https://www.kompasiana.com)
Monumen Rawa Gede didirikan untuk mengenang tewasnya 431 orang warga sipil yang teguh mempertahankan tempat persembunyian Pejuang Kemerdekaan, demi mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam diorama ini digambarkan kebiadaban dan kekejaman Tentara Belanda yang sedang membantai rakyat yang tak berdosa, termasuk diantaranya anak-anak dan perempuan. Di lingkungan Monumen Rawa Gede ini terdapat 431 makam rakyat yang rela mati demi mempertahankan kemerdekaan.
Permohonan maaf Pemerintah Belanda
Proses gugatan hukum kasus Rawagede di pengadilan Den Haag, Belanda (https://nasional.news.viva.co.id)
Dua kemenangan besar untuk para korban Rawagede. Pertama, secara hukum, Pengadilan Den Haag menyatakan Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi pada korban. Yang kedua, untuk kali pertamanya setelah 64 tahun berlalu, pemerintah Belanda secara resmi akan minta maaf pada Jumat 9 Desember 2011. (*)
Dalam kesempatan itu, De Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, juga berharap hubungan Belanda dan Indonesia dapat semakin harmonis di masa mendatang. “Saat tragedi itu, hubungan kita (Indonesia-Belanda) berada di jalur yang salah. Sebagai perwakilan Belanda, saya minta maaf atas tragedi pada 9 Desember 1947 itu,” kata De Zwaan di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Jumat 9 Desember 2011. (**)
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd De Zwaan, bersama keluarga korban Rawagede dalam Peringatan Tragedi Rawagede di Desa Balongsari, Karawang (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
“Saya berharap, kita bisa berubah bersama di masa depan ke arah yang lebih baik. Ini adalah peluang untuk menutup permasalahan dan gesekan antara kedua negara,” papar De Zwaan. Ia menambahkan, kehadirannya di Monumen Rawagede tidak hanya mewakili pemerintah Belanda, tapi juga seluruh rakyat Belanda.(**)
Para janda korban pembantaian Rawagede mengaku menerima maaf Belanda atas kekejaman mereka 64 tahun silam. Tak tanggung-tanggung, 431 penduduk Rawagede tewas dibantai Belanda. Tapi kini, janda-janda korban mengaku ingin membuka lembar baru dalam hidup mereka. “Saya memaafkan Belanda,” kata Wanti.(**)
Wanti, salah seorang janda korban pembantaian Rawagede (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
Cawi, janda korban lainnya, juga sudah bisa memaafkan Belanda. “Belanda minta maaf, ya diterima. Biar yang dulu berlalu, yang sekarang ya sekarang. Saya sudah nggak ada dendam. Saya yakin dari dulu, anak-cucu Ibu akan bales. Sekarang yang penting sama-sama baik,” kata Cawi. Anak Cawi yang juga Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, membenarkan ucapan sang ibu.(**)
“Benar, keadilan telah ditegakkan,” ujar Sukarman yang bolak-balik terbang Indonesia-Belanda untuk mengikuti proses pengadilan di Den Haag. Kini, setelah permintaan maaf Belanda diterima, proses selanjutnya adalah menunggu realisasi cairnya dana kompensasi Belanda atas 9 janda korban Rawagede yang mengajukan gugatan di Pengadilan Den Haag.(**)
Sumber:
(*) Viva
(**) Viva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar