Adat Indonesia

Blog tentang adat istiadat di Indonesia

Selasa, 16 Februari 2016

Ubrug, Teater Rakyat Banten

Ubrug mang Canthel  (https://mylentera.com)

Kesenian teater rakyat yang sepadan dengan menampilkan keaktoran yang penuh lawakan berkembang di daerah dan suku bangsa di seluruh Indonesia, seperti hanya di Betawi dengan Lenongnya, Jawa Barat dengan Longser-nya, Jawa Tengah dengan Ketoprak-nya, Jawa Timur dengan Ludruk-nya. Dari semua bentuk kesenian teater rakyat di daerah-daerah, terbentuknya kesenian tersebut merupakan hasil dari asimilasi kesenian keraton dan kesenian masyarakat yang berbaur lintas geografis, berkembang sesuai dengan karakter daerahnya.

Arti Istilah

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain atau pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.

Dalam Kamus Bahasa Sunda, kata ubrug berarti sebagai bangunan darurat, tempat bekerja sementara untuk beberapa hari saja, misalnya untuk kepentingan hajatan atau pesta. Kemudian kata tersebut digunakan sebagai nama kesenian, mungkin karena pada masa lalu pemain Ubrug suka berpindah-pindah tempat dan membuat bangunan sementara manakala mereka mengadakan suatu pertunjukan. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai pemain Ubrug, pemain yang tinggal di tempat darurat.

Lain halnya dengan pendapat Mutia Kasim (dalam Walidat, 1997), yang menyebutkan bahwa ubrug diambil dari kata ngagebrug. Dalam pertunjukan Ubrug, semua pemain, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, beserta para penonton sama-sama menempati satu tempat pertunjukan atau sagebrug (bahasa Sunda).

Kesenian ubrug sering diistilahkan dengan topeng. Ada dua pendapat tentang kesenian ubrug apabila dikaitkan dengan kesenian topeng. Pendapat pertama, kesenian ubrug tidak sama dengan kesenian topeng. Pendapat kedua, kesenian ubrug konon sama saja dengan topeng. Hanya saja, istilah ubrug digunakan di wilayah-wilayah yang menggunakan bahasa Jawa Banten, sedangkan istilah topeng digunakan di wilayah-wilayah budaya Sunda.

Buku tentang Ubrug (https://nimusinstitut.blogspot.co.id)

Sejarah

Untuk memberikan keterangan mengenai sejarah pertunjukan ubrug (topeng), perlu penggambaran periodesasi untuk mempermudah menulusuri sumber-sumber yang diperoleh dari zaman-ke zaman. Periode ini di mulai dari zaman kesultanan, zaman kekuasaan kolonial, dan zaman kemerdekaan. Periodisasi seni peran tradisional itu dilakukan untuk mempermudah interpretasi perkembangan pertunjukan kesenian ubrug.

1. Ubrug Zaman Kesultanan

Data tertulis tertua yang menerangkan tentang seni peran ada dalam naskah Sejarah Banten yang di ceritakan oleh Sandimaya dan ditulis oleh Sandisastra mengenai pertunjukan raket (seperti wayang orang) dan Calung, keterangan ini tertulis dalam Pupuh Sinom bait ke 21- 23. Hélène Bouvie dalam bukunya ‘Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, menjelaskan bahwa Raket adalah sejenis pertunjukan pendek tanpa topeng yang pada mulanya berdasarkan tarian dan nyanyian sewaktu sewaktu menumbuk padi. Kemudian dijadikan tarian keraton selewat-lewatnya pada abad ke 14. Menurut satu hipotesis lainnya asal-usulnya adalah topeng kecil.

Dari keterangan naskah tersebut di atas, menjelaskan mengenai pesta turun tanah Pangeran Anom atau Pangeran Surya (Sultan Ageng Titayasa) yang masih balita yang sangat dicintai oleh Kakeknya, Sultan Abul Mufakhir Abdul Kadir Kenari. Dalam pesta tersebut semua pemain berasal dari golongan keraton maupun dari orang asing, tampilannya sendiri berbentuk drama tari.

Pada pertunjukan raket, tiap-tiap adegannya dibagi secara runtut, sesuai dengan pakem pertunjukan. Susunan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Jejer sepisan: adegan kerajaan jawa / panji. pada adegan ini sebelum para penari berdialog, dalang mengucapkan janturan yang menggambarkan sifat keadilan raja yang memimpin negaranya dengan makmur dan adil. (gending angleng atau kalem)
b. Grebeg jawa: pengembaraan panji (gending angleng atau kalem)
c. Jejer kapindo: adegan di kerajaan sabrang (gending setro atau agak keras)
d. Grebeg sabrang: adegan pengelanaan raja klono bersama para patih untuk mencari putri yang akan dinikahi atau menaklukkan kerajaan lain. (gending gondo boyo atau keras)
e. Perang grebeg: pertemuan antar panji dengan kerajaan sabrang (gending gondo boyo atau keras)
f. Jejer katelu: adegan pertapaan / kerajaan lain. (gending angleng atau kalem)
g. Potrojoyo-gunung sari (gending pedhat atau biasa)
h. Adegan ulangan kerajaan pertama
i. Jejer kalima: perang besar antar kedua kerajaan (gending gondo boyo atau keras)

Pada zaman Sultan yang ke 4 kesultanan Banten, mulai digambarkan dalam sejarah mengenai bentuk kesenian Banten walaupun tidak serinci secara lengkap seperti data-data tertulis yang ada di daerah lain. Namun demikian keterangan yang singkat ini dapat memecahkan kebuntuan masa lalu kesenian di Banten. Di gambarkan dalam naskah tersebut bentuk kesenenian antara lain: Gamelan Sakati, dan goong. Digambarkan adanya keriuhan dari suara kendang yang saling bersahutan pada acara Sasapton. Upacara Sasapton ini merupakan ungkapan kegembiraan dari Sultan Abul Mufakhir Abdul Kadir atas kelahiran cucunya. Sehinga diadakan sebuah pesta besar-besaran setiap hari Sabtu di depan Keraton Surosowan, dan yang menjadi Nayaga dari kalangan para ponggawa. Hal ini dimungkinkan, karena di keraton Surosowan terdapat ruangan untuk alat-alat kesenian yang disebut Panayagan.

2. Ubrug Zaman Kolonial

Sementara itu sumber lain yang menggambarkan kesenian ubrug (topeng) digambarkan oleh Thomas Stamford Raffles dalam perjalanan dinasnya ke Nusantara dan mendokumentasikan kehidupan masyarakat di Pulau Jawa dari tahun 1776-1813 yang ditulis dalam bukunya The History of Java, menjelaskan tentang pertujukan kesenian topeng dan lawakan. Topeng merupakan kesenian masyarakat yang biasa di pentaskan untuk hiburan pesta panen dan acara perkawinan, dengan mengedepankan komedi atau lawakan oleh para pemainnya.

Diceritakan pula mengenai pertunjukan oleh Rafles, seorang aktor yang menjadi tokoh komedinya dengan mementaskan idiom-idiom kebodohan sang aktor, seperti orang idiot, lenggak-lenggok mengikiti irama yang mengalun selama pertunjukan berlangsung.

Banyak digambarakan bentuk pertunjukan kesenian yang biasa ditampilkan dimasyarakat maupun di masyarakat kota keraton, oleh pelancong Eropa yang singgah di Jawa khususnya Banten, antara lain: drama, topeng, lawakan, berbagai pertunjukan wayang dan lain-lain.

Bahkan digambarkan pula oleh Ahmad Djayadiningrat dalam catatan dinasnya selama menjadi pejabat pemerintahan sejak asisten kewedanaan (setingkat camat) hingga menjadi bupati. Bahwa masyarakat sekitar daerah yang dipimpinnya itu gemar mengadakan acara hiburan rakyat seperti topeng, jaipong, reog, jaran bilik dan lain-lain. Bentuk hiburan ini sering terjadi keributan oleh para penontonnya. Kendati demikian masyarakat tetap menyelenggarakan hiburan rakyat tersebut. Hal inilah sehingga ada perintah larangan beberapa jenis pertunjukan rakyat.

Sumber-sumber yang detail mengenai pertunjukan seni pertujukan tidak banyak diketemukan di Banten, sehingga penulis menulusuri jejak-jejak kelompok yang pernah terkenal pada zamannya. Akan tetapi tidak banyak pula informasi yang di dapat dari lapangan.

3. Ubrug Zaman Pra dan Pasca Kemerdekaan

Ubrug (www.youtube.com)

Sejarah secara tradisional dianggap sebagai cerita atau catatan yang obyektif mengenai masa lalu. Akan tetapi, kita mulai menyadari bahwa sejarah tidak lepas dari bias-bias. Kesadaran seperti itu ditangkap dalam New Historicism, sebuah teori sejarah dengan pandangan kultural. New Historicism menganggap bahwa sejarah itu subyektif, dan sejarah adalah interpretasi masa lalu, bukan masa lalu itu sendiri (lihat Basuki:2003). Dari berbagai tempat yang dikujungi tidak banyak informasi tentang sejarah ubrug itu sendiri, bahkan tahun didirikannya pun masih meraba-raba dengan menyebutkan kejadian yang pernah terjadi pada saat itu. Sehingga beberapa asumsi muncul untuk mengetahui tahun berdiri komunitas tersebut. Namun demikian dari data-data lisan yang didapat kiranya dapat memberikan gambaran mengenai asal-usul kesenian tradisional khususnya ubrug atau lebih dikenal oleh para pelaku dengan sebutan topeng.

Historis Ubrug pada zaman-zaman tersebut di atas, adalah periode yang paling gelap secara tertulis yang mendeskripsikan pementasan ubrug. Penelitpun diharuskan banyak terjun langsung ke grup-grup ubrug terkini untuk menelusuri mata rantai yang terputus, alhasil banyak informasi berserakan di tengah masyarakat. Informasi itu pun hampir seluruhnya lisan.

Kondisi ini pun ditemui ketika peneliti mengunjungi kelompok Cantel dan Tolay, hanya sedikit informasi yang didapat mengenai keberadaan Ubrug di masa lalu. Menurut Sarmani dari grup Cantel yang sudah malang-melintang di dunia Ubrug dan Jaipongan sejak tahun 60-an, sejarah munculnya grup Ubrug hanya bias dipindai mulai dari munculnya grup Ubrug Ican, Sani, Jambul, Ibo, sekitar tahun 1950-an.

Kelompok Ican, Sani, Jambul, dan Ibo ini diprediksikan aktif pada tahun 1900-1935. Sementara kelompok yang Sarmani ketahui pementasannya antara lain kelompok Ponah, Entus, Sendok, Kasmadi, Abe dan Awang. Dia juga memperkirakan bahwasanya Ubrug sudah ada sejak zaman kesultanan, tapi tidak mengetahui bentuknya secara rinci, yang beliau ingat hanya satu kelompok ubrug Ponah yang ada sekitar tahun sebelum kemerdekaan sampai tahun 50-an.

Dari kelompok Ponah inilah banyak banyak berlahiran kelompok ubrug yang ternama, sezaman dengan grup Ponah (Koper Balaraja Kabupaten Tangerang) adalah grup Ribut (Pengawinan Kecamatan Bandung Kabupaten Serang), grup Ranti (Puser Tirtayasa Kabupaten Serang), dan grup Sinar Muda, (Oyong Keresek Tangerang). Generasi berikutnya adalah groip Jari, Senaan, Termos dan lain-lain.

Lokasi Sebaran

Kesenian ubrug terdapat di Kecamatan Cikande bagian utara, Kragilan, Carenang, Pontang, Tirtayasa, Kasemen, Ciruas, Walantaka, Taktakan, Waringin Kurung, Kramat Watu, Bojonegara, Merak, Cilegon, Anyar, Mancak, Cinangka, Ciomas, Pabuaran, Padarineang, dan Pamarayan sebelah utara. Di daerah ini bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa Banten, sedangkan yang berbahasa Sunda terdapat di Kecamatan Cikande sebelah selatan, Kopo, Cikeusal, Baros, Pamarayan Timur dan Selatan serta Petir. Di sini istilah ubrug diganti dengan istilah topeng, walaupun dalam pertunjukannya sama dengan ubrug dan tidak memakai topeng. Mungkin hal ini disebabkan karena Kabupaten Serang bagian tenggara berdekatan dengan Kabupaten Bogor tempat topeng Cisalak berada.

Selain menyebar di daerah Serang, kesenian ubrug ini pun berkembang dan tersebar hingga ke daerah Tangerang, Lebak, Pandeglang bahkan sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan. Pertunjukkan ubrug hampir mirip dengan sandiwara lainnya di Tatar Sunda. Juru nandung (wanita) berperan sebagai pembuka permainan dengan menyanyi Nandung atau disebut ronggeng. Bodor atau pelawak pria bermain dan berpasangan dengan juru nandung dan mengadakan tarian sambil melawak seperti permainan ketuk tilu atau jaipongan. Jika mandor atau ketua RT yang menjadi tuan rumah, biasanya ia selalu ikut di dalam permainan sehingga dengan adanya ketua RT ini, permainan semakin komunikatif dan ramai.

Peralatan

Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.

Busana

Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Tempat pentas

Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

Perkembangan selanjutnya, Kesenian Ubrug berangsur-angsur digunakan untuk hiburan pada acara hajatan, yakni selamatan pernikahan, khitanan, peresmian gedung baru, dan sebagainya. Sebagai alat penerangnya pada masa lalu adalah obor atau lampu blancong, yang disimpan di tengah-tengah arena pentas dan para pemainnya berada di sekeliling obor atau blancong tersebut. Blancong adalah lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar, yang diletakkan di tengah arena. Lampu blencong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan gembrong atau lampu petromak.

Berbagai sumber dari Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar