Masjid Raya Sultan Riau dari atas (https://oldlook.indonesia.travel)
Masjid Raya Sultan Riau terletak di Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Masjid Sultan Riau atau Lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pulau Penyengat, keberadaan masjid ini menjadi ikon sejarah penting di Kepulauan Riau, karena masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan masa Kejayaan Kerajaan Riau-Lingga (1928-1911).
Masjid Raya Sultan Riau dari laut
Sejarah
Masjid Raya Sultan Riau
Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.
Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.
Masjid Raya Sultan Riau
Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.
Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.
Arsitektur
Masjid Raya Sultan Riau
Ditilik dari sisi arsitektur, masjid ini sangat unik karena memadukan gaya Timur Tengah dan Melayu. Hal tersebut tidak menjadi aneh mengingat arsitek pembangunan masjid adalah pedagang dari India.
Konsep penggunaan arsitektur Melayu terlihat jelas pada rumah Sotoh yang berupa bangunan balai-balai yang terletak di sebelah kanan dan kiri halaman masjid.
Diskripsi Bangunan
Masjid Raya Sultan Riau
Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter, dengan bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, tempat ibadah umat muslim yang dicat dengan warna kuning dan hijau terlihat lebih menonjol dibandingkan bangunan di sekitarnya.
Bangunan Masjid Raya Sultan Riau Penyengat dikelilingi pagar tembok dan letaknya lebih tinggi dari permukaan tanah di sekitarnya. Kompleks masjid terdiri atas sebuah masjid sebagai bangunan utama, dua buah bangunan di sisi timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai keperluan perayaan atau upacara yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam.
Selain itu, di antara kedua bangunan tersebut juga terdapat dua buah bangunan semacam pendopo. Bangunan tempat wudlu terletak di sisi utara dan selatan bangunan masjid.
Menara
Salah satu Menara Masjid Raya Sultan Riau (https://tindaktandukarsitek.com)
Empat menara yang dibangun berada di sudut ruang utama masjid dengan bentuk hampir sama, tingginya mencapai 19,9 meter, dengan bentuk atap yang runcing dan tiang penompang yang ramping, yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan salat (adzan). Keempat menara ini berbentuk bangunan klasik yang biasa ditemui di Turki pada masa Bizantium.
Kubah
Kubah dan Menara Masjid Raya Sultan Riau (https://websta.me)
Tiga belas kubah, berbentuk bawang, berbaris empat mengarah kiblat dan berbaris tiga dengan arah melintang. Secara keseluruhan kubahnya berjumlah 12. Jika ditambah dengan kubah di atas beranda depan pintu masuk utama, maka, jumlahnya menjadi 13.
Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan menunjuk pada angka 17, yang merupakan melambangkan jumlah roka’at shalat fardhlu dalam sehari semalam.
Balai dan Rumah Sotoh
Balai ada di kiri dan di kanan (https://www.indonesia-tourism.com)
Di antara keunikan yang dimiliki oleh Masjid ini adanya dua bangunan yang khas yang mendampingi dibelakangnya, yaitu “Rumah Sotoh” dan “Balai-balai”. Dua bangunan ini masing-masing ada dua, satu pada sisi kiri dan satu pada sisi kanan. Bagian tengah dari dua bangunan ini digunakan untuk jalan setapak dari bata merah yang membentang di tengah pelataran berumput. Sisi terpanjang dari rumah sotoh ini sejajar dengan arah kiblat. Kedua bangunan ini semacam gardu, tapi besar dan panjang tak berdinding, mempunyai kolong, dengan konstruksi terbuat dari kayu. Bangunan ini disebut balai musafir.
Balai Musafir (https://annafardiana.wordpress.com)
Balai-balai berbentuk bangunan terbuka semacam gardu tetapi besar dan panjang tak berdinding mempunyai kolong, konstruksi kayu. Dalam istana-istana di Jawa dalam bentuk lebih besar, unit semacam itu disebut paseban, untuk ruang tunggu tamu Raja. Balai-balai ini sejak dahulu digunakan untuk rehat para musafir, tempat bermusyawarah, tempat menunggu waktu salat dan berbuka puasa. Kedua balai itu dahulu beratap sirap dari kayu belian dan dindingnya seperti kisi-kisi rapat. Sekarang atapnya sudah diganti dengan genteng yang didatangkan dari Perancis. Kesatuan rumah Sotoh dan balai-balai menambah keindahan tata ruang Masjid ini.
Balai dan Rumah Sotoh
Rumah sotoh berbentuk bangunan tertutup sejak dahulu digunakan untuk tempat belajar mengajar, area diskusi para alim ulama dan tempat menginap bagi musafir. Rumah Sotoh sebelah kiri masjid juga digunakan untuk dapur dan meletakkan sarana makan-minum dan hidangan acara-acara khusus. Di sini pula pernah disimpan sisa-sisa instrument orkestra diraja yang disebut Gendang Nobat. Sekarang ini, alat ini sudah disimpan di Museum Swasta Kandil Riau di Tanjung Pinang.
Ruang Utama
Ruang utama (https://komunitas.rimanews.com)
Sebelum memasuki ruang utama, kita akan dihadapkan dengan sebuah beranda atau serambi yang berupa sebuah unit yang menjorok ke depan (porc) dan diatapi dengan kubah. Dalam arsitektur Jawa, unit ini biasa disebut kuncung. Di sudut-sudutnya terdapat pilaster. Di serambi ini tersimpan dua buah lemari kayu berhias kaligrafi yang menyimpan koleksi naskah-naskah kuno peninggalan Sultan. Selain itu pada beberapa bagian dindingnya dihiasi dengan kaligrafi-kaligrafi arab dan jadwal waktu salat.
Saat memasuki pintu penghubung antara beranda dan ruang utama, dapat ditemukan sebuah balai terbuat dari kayu yang digunakan sebagai tempat meletakkan Al-Qur’an tulisan tangan dan kotak amal. Pada balai ini pula dapat disaksikan manuskrip mushaf Al-Qur’an kuno, buah tangan Abdurrahman Istambul yang diselesaikan penulisannya pada tahun 1867 M. Selain manuskrip mushaf ini, Masjid ini masih menyimpan satu manuskrip mushaf yang lain yang tidak panjang karena kondisinya sudah rapuh.
Pilar Masjid yang berbentuk unik
Nuansa ruangan utama Masjid ini terbagi pada beberapa bagian menyesuaikan bagian langit-langit yang terbentuk dari atap kubah. Ruang utama ditopang oleh 4 buah pilar beton yang kokoh dan terbagi menjadi 9 petak, 6 petak di muka menjadi ruang salat khusus laki-laki dan 3 di belakang dipersiapkan untuk ruang shalat perempuan jika dibutuhkan. Sementara dalam kondisi sehari-hari (tanpa ada perayaan), ruang salat perempuan hanya menempati satu petak di belakang pada sisi sebelah kiri.
Bangunan utama masjid berdenah segi empat, terdapat empat buah tiang utama (pilar dari beton), dengan pintu masuk utama di sisi timur, dan pintu lain di sisi utara dan selatan. Bangunan masjid memiliki serambi ruang utama.
Mihrab dan Mimbar
Mihrab dan Mimbar (https://artmelayu.blogspot.co.id)
Mihrab Masjid ini dibentuk menjadi ruangan khusus yang cukup indah, dengan bingkai ornamen bunga-bunga hijau dan kuning dan mimbar yang berwarna kuning keemasan. Posisi imam ada di tepi mihrab sebelah kiri, sedangkan mimbar diletakkan di tengah-tengah mihrab agak menjorok ke dalam. Hal ini disebabkan mimbar Masjid ini cukup besar dan tinggi. Sehingga tidak memungkinkan jika ditempatkan sejajar dengan posisi imam.
Mimbar Masjid ini sangat indah, terbuat dari kayu jati yang dicat dengan warna kuning keemasan dan bermotif ukiran bunga. Mimbar ini kabarnya dipesan dari Jepara atas permintaan Raja Achmad pada tahun 1826 M dalam perjalanannya ke Jawa Tengah. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, satu diletakkan di Masjid ini dan satu lagi diletakkan di Masjid Daik Pulau Lingga yang menjadi pusat pemerintahah kerajaan Riau- Lingga. Mimbar ini memiliki 3 anak tangga dan satu buah tempat duduk untuk khatib.
Bedug
Bedug
Masjid ini memiliki beduk yang terbuat dari kayu cengal bercat kuning dan kulit sapi yang direkatkan dengan ring besi. Panjang beduk ini mencapai 2,5 m dengan diameter 1 m, tersimpan di dalam Rumah Sotoh sebelah kiri tergantung ke atap dengan tambang. Beduk ini ditabuh lima kali dengan tabuhan terputus-putus ketika datangnya waktu salat, dan ditabuh dengan ritme lebih cepat pada petang hari di hari jumat membedakan dari hari-hari lainnya. Fungsinya untuk memberi tanda bagi masyarakat agar segera berkumpul melaksanakan shalat maghrib berjamaah yang selanjutnya disusul dengan pembacaan surat Yasin dan tahlil bersama-sama. Selain itu, beduk ini ditabuh secara terus-menerus pada waktu datangnya Idul Fitri dan Idul adha, mulai malam hari hingga pelaksanaan shalat Id. Setelah shalat Id dilaksanakan, maka tabuhan beduk diteruskan bersahut-sahutan dengan tabuhan kentongan.
Bangunan Lainnya
Rumah Sotoh (https://tindaktandukarsitek.com)
Perbedaannya terdapat pada bagian bingkai jendela dan pintu yang dibentuk melengkung, meski daun pintu dan jendela tetap menyerupai gaya rumah Gadang yang khas dengan kisi-kisi. Bangunan ini difungsikan sebagai tempat penyimpanan beduk, dapur umum, dan tempat tinggal marbot atau pengurus masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar